Setelah hampir dua tahun tinggal di 'Perumahan Mertua Indah', akhirnya aku dan suami memutuskan untuk mandiri. Alias pengen misah d...
Setelah hampir dua tahun tinggal di 'Perumahan Mertua Indah', akhirnya aku dan suami memutuskan untuk mandiri. Alias pengen misah dan hidup berdua secara mandiri. Alasannya, kalau masih di rumah mertua, kami tak pernah tahu bagaimana mengelola kehidupan setelah berkeluarga.
Awalnya sih, mertuaku keberatan, terutama sang ibu mertua. Katanya, kalau kalian punya uang lebih baik disimpan untuk keperluan lain. Lagipula, rumah mertua yang besar memungkinkan kami hidup dengan tenang tanpa memikirkan yang lain-lainnya. Karena aku dan suami sama-sama bekerja, otomatis aku gak pernah ngurusi rumah, semua ada yang membantu. Tapi itu tak membuat kami nyaman. Menurut kami, setelah berkeluarga sudah selayaknya kami bertanggung-jawab akan sebuah keluarga yang baru kami bangun.
Setelah berhasil meyakinkan ayah dan ibu mertua, akhirnya kami 'hunting' mencari rumah kontrakan. Kami memilih ngontrak karena untuk membeli sebuah rumah kami belum sanggup. Setelah cari informasi sana-sini, ketemulah sebuah rumah kontrakan seperti yang kami butuhkan. Sebuah rumah kopel dengan sebuah kamar tidur, sebuah kamar kecil yang dipergunakan untuk gudang, ada ruang kecil untuk dapur, dan sebuah kamar mandi. Ruang tamunya hanyalah sebuah ruang yang tak terlalu luas.
Kisah Sebuah Rumah |
Rumah kontrakan itu tak jauh dari kantorku dan tak begitu jauh juga dari rumah mertua maupun orangtuaku. Jadi, klop deh, biarpun sudah misah tetapi aku masih bisa berkunjung ke rumah mertua ataupun orang tuaku.
"Rumah ini banyak sejarahnya. Setiap orang yang mengontrak, setelah keluar dari rumah ini malah langsung pindah ke rumahnya sendiri. Mudah-mudahan kalian juga bernasib sama. Keluar dari rumah ini dan beli rumah baru ya?" urai Pak Nurdin, sang pemilik kontrakan.
"Amin, doakan ya Pak? Mudah-mudahan kami pun bisa seperti pengontrak lainnya bisa beli rumah sendiri setelah tinggal di kontrakan ini." sahutku menyambung obrolan dengan Pak Nurdin saat itu.
Sejak mendapat cerita itu, aku menjadi bersemangat untuk punya rumah sendiri. Maka aku bertekad, tak kan lama-lama ngontrak, aku harus punya rumah sendiri. Saat itu kami mengontrak seharga 3 juta per tahun. Harga yang cukup mahal pada masa itu. Sayang kan uang segitu harus kita berikan ke orang lain? Kalau kita punya rumah sendiri, uang segitu bisa untuk beli perabotan, pikirku!
Entah karena berkah tinggal di rumah itu, atau berkah karena aku dan suami bekerja keras mengumpulkan pundi-pundi untuk membeli rumah, akhirnya kami pun dapat membeli rumah secara kredit. Rumah yang tak begitu besar, tapi milik kami sendiri. Baru satu tahun setengah ngontrak, akhirnya mimpi pengen punya rumah terwujud.
"Alhamdulillah, akhirnya kita punya rumah ya Kak?" kataku pada suami saat menanda-tangani akad kredit di salah satu bank pemerintah.
Kini, sudah empat tahun kami tinggal di rumah milik sendiri. Sebuah rumah mungil dengan pekarangan yang tak terlalu luas, tapi kami nyaman tinggal di situ.
Dalam beberapa kesempatan sebelum tidur aku sering mengungkapkan kebahagian memiliki rumah sendiri.
"Kak, ingat gak dulu Pak Nurdin pernah bilang, setiap orang yang ngontrak di rumah kontrakan miliknya akhirnya bisa punya rumah sendiri. Dan kita salah satu dari mereka itu lho.."
"Ya, berarti kita harus bersyukur dong karena ini hasil kerja keras kita. Artinya, orang-orang yang pernah ngontrak rumah itu semua pekerja keras, bukannya dapat berkah dari rumah itu, lho!" suamiku mencoba meluruskan pola pikirku.
Entahlah, tapi hingga saat ini aku tetap meyakini bahwa rumah kontrakan yang pernah kami tempati dulu memang membawa berkah. Wallahualam..!
COMMENTS