Setiap kali aku ingat wajah perempuan itu, selalu aku tersadar ternyata dia tak seperti yang lainnya. Dalam kesederhanaannya yang sangat min...
Setiap kali aku ingat wajah perempuan itu, selalu aku tersadar ternyata dia tak seperti yang lainnya. Dalam kesederhanaannya yang sangat minim, dia masih punya harga diri. Suatu kata yang bahkan hampir terlupakan dari diri kita 'sebuah harga diri'..
Perempuan itu sudah renta. Usianya berkisar tujuhpuluh tahunan. Duduk bersimpuh di pojok gang sempit. Di hadapannya ada setumpuk kacang rebus, dagangannya. Dia berharap, orang-orang yang lalu-lalang di hadapannya dapat berhenti sebentar, berminat pada dagangannya.. Lalu tangannya yang keriput dengan sigap membungkus kacang-kacang itu. Selanjutnya, sebungkus kacang rebus telah berpindah tangan. Perempuan itu menerima selembar uang seribuan. Dengan senyuman dia berucap "Terimakasih.." atau "Alhamdulillah"..
Perempuan itu pertama kali aku jumpai saat aku bersama suami berminat makan soto di belakang sebuah pusat perbelanjaan terkenal di kotaku. Waktu pertama kali berjumpa, aku tak terlalu menghiraukan keberadaan perempuan itu. Boro-boro membeli kacang rebus dagangannya. Bahkan aku berfikir perempuan itu adalah seorang pengemis, layaknya pengemis lain yang sering kita temukan di kaki lima atau pelataran toko..
Tapi perempuan ini sungguh berbeda. Ternyata dia bukanlah seorang pengemis (walaupun sosoknya, maaf, lebih pantas disebut pengemis). Dia duduk di pojok gang itu sambil menjajakan dagangannya 'kacang rebus'..
"Bu, kacang rebus.. Ibu mau membelinya?" sapanya suatu hari. Aku bersama suami hanya melempar senyum sejenak lalu menjauh darinya. Kali berikut, saat aku kembali lagi pengen nyobain soto si Abah, perempuan itu kembali menyapa.
"Kacang rebusnya, Bu?" ucapnya pelan. Suaranya terdengar lirih bahkan hampir tak terdengar. Kali itu aku pun bahkan tak menolehnya sama sekali. Karena aku pada dasarnya tak suka makan kacang, bikin perutku mules..Lagi pula aku tergesa-gesa menuju si penjual soto karena perutku sudah keruyukan..
Akhirnya, setelah beberapa kali berjumpa dengan perempuan itu, hatiku tergelitik untuk mengetahui jati dirinya. Akhirnya, aku pun menghampiri..
"Bu, aku mau beli kacangnya. Berapa harganya?"
"Seribu rupiah, Bu!" jawabnya singkat
"Aku beli dua ya!" kataku sambil memberi selembar limaribuan. Lalu perempuan itu membungkus kacang-kacang pesananku.
Sembari menunggu perempuan itu membungkus kacang-kacang pesananku, aku mengajaknya ngobrol. Aku pun akhirnya dapat mengorek keterangan darinya setelah berbincang sejenak.
Ternyata, perempuan itu hidup sebatang kara, tak punya keluarga. Dia tinggal tak jauh dari gang itu pada suatu perkampungan padat. Untuk mempertahankan hidup dia berjualan kacang rebus. Katanya, kalau mau jadi pengemis dia bisa saja mengikuti seperti pengemis lainnya. Tapi perempuan itu tak mau jadi pengemis. Baginya, dengan usaha apapun jalannya maka rejeki akan datang. Dia berharap rejeki yang datang padanya adalah rejeki yang halal..
Aku pun manggut-manggut mendengar cerita perempuan itu dan berpamitan padanya. Baru berbalik satu langkah tiba-tiba aku mendengar perempuan itu memanggil, "Bu, ini kembaliannya, Bu..!"
Aku membalikkan tubuh ke arahnya. Dengan senyuman aku berkata padanya, "Ambil saja kembaliannya buat Ibu ya?" Dan seperti yang sering kudengar, perempuan itu berucap"Terimakasih ya, Bu.. Alhamdulillah..!" Tiga lembar uang seribuan menjadi miliknya, tapi aku ikhlas memberikannya. Bagiku, perempuan itu sungguh berkarakter, tak menjual harga dirinya demi sesuap nasi..
Beberapa langkah kuayunkan dan dari sudut mataku pun akhirnya mengeluarkan butiran-butiran bening.. Aku sedih melihat sosok perempuan renta yang masih bersaha berjuang demi sesuap nasi untuk kehidupannya. Tapi aku sangat bahagia dengan ketegaran hatinya tak rela disebut pengemis.. Mudah-mudahan Ibu itu tetap sehat sehingga dia tetap bisa berjualan kacang-kacangnya..
Perempuan itu sudah renta. Usianya berkisar tujuhpuluh tahunan. Duduk bersimpuh di pojok gang sempit. Di hadapannya ada setumpuk kacang rebus, dagangannya. Dia berharap, orang-orang yang lalu-lalang di hadapannya dapat berhenti sebentar, berminat pada dagangannya.. Lalu tangannya yang keriput dengan sigap membungkus kacang-kacang itu. Selanjutnya, sebungkus kacang rebus telah berpindah tangan. Perempuan itu menerima selembar uang seribuan. Dengan senyuman dia berucap "Terimakasih.." atau "Alhamdulillah"..
Perempuan itu pertama kali aku jumpai saat aku bersama suami berminat makan soto di belakang sebuah pusat perbelanjaan terkenal di kotaku. Waktu pertama kali berjumpa, aku tak terlalu menghiraukan keberadaan perempuan itu. Boro-boro membeli kacang rebus dagangannya. Bahkan aku berfikir perempuan itu adalah seorang pengemis, layaknya pengemis lain yang sering kita temukan di kaki lima atau pelataran toko..
Tapi perempuan ini sungguh berbeda. Ternyata dia bukanlah seorang pengemis (walaupun sosoknya, maaf, lebih pantas disebut pengemis). Dia duduk di pojok gang itu sambil menjajakan dagangannya 'kacang rebus'..
"Bu, kacang rebus.. Ibu mau membelinya?" sapanya suatu hari. Aku bersama suami hanya melempar senyum sejenak lalu menjauh darinya. Kali berikut, saat aku kembali lagi pengen nyobain soto si Abah, perempuan itu kembali menyapa.
"Kacang rebusnya, Bu?" ucapnya pelan. Suaranya terdengar lirih bahkan hampir tak terdengar. Kali itu aku pun bahkan tak menolehnya sama sekali. Karena aku pada dasarnya tak suka makan kacang, bikin perutku mules..Lagi pula aku tergesa-gesa menuju si penjual soto karena perutku sudah keruyukan..
Akhirnya, setelah beberapa kali berjumpa dengan perempuan itu, hatiku tergelitik untuk mengetahui jati dirinya. Akhirnya, aku pun menghampiri..
"Bu, aku mau beli kacangnya. Berapa harganya?"
"Seribu rupiah, Bu!" jawabnya singkat
"Aku beli dua ya!" kataku sambil memberi selembar limaribuan. Lalu perempuan itu membungkus kacang-kacang pesananku.
Sembari menunggu perempuan itu membungkus kacang-kacang pesananku, aku mengajaknya ngobrol. Aku pun akhirnya dapat mengorek keterangan darinya setelah berbincang sejenak.
Ternyata, perempuan itu hidup sebatang kara, tak punya keluarga. Dia tinggal tak jauh dari gang itu pada suatu perkampungan padat. Untuk mempertahankan hidup dia berjualan kacang rebus. Katanya, kalau mau jadi pengemis dia bisa saja mengikuti seperti pengemis lainnya. Tapi perempuan itu tak mau jadi pengemis. Baginya, dengan usaha apapun jalannya maka rejeki akan datang. Dia berharap rejeki yang datang padanya adalah rejeki yang halal..
Aku pun manggut-manggut mendengar cerita perempuan itu dan berpamitan padanya. Baru berbalik satu langkah tiba-tiba aku mendengar perempuan itu memanggil, "Bu, ini kembaliannya, Bu..!"
Aku membalikkan tubuh ke arahnya. Dengan senyuman aku berkata padanya, "Ambil saja kembaliannya buat Ibu ya?" Dan seperti yang sering kudengar, perempuan itu berucap"Terimakasih ya, Bu.. Alhamdulillah..!" Tiga lembar uang seribuan menjadi miliknya, tapi aku ikhlas memberikannya. Bagiku, perempuan itu sungguh berkarakter, tak menjual harga dirinya demi sesuap nasi..
Beberapa langkah kuayunkan dan dari sudut mataku pun akhirnya mengeluarkan butiran-butiran bening.. Aku sedih melihat sosok perempuan renta yang masih bersaha berjuang demi sesuap nasi untuk kehidupannya. Tapi aku sangat bahagia dengan ketegaran hatinya tak rela disebut pengemis.. Mudah-mudahan Ibu itu tetap sehat sehingga dia tetap bisa berjualan kacang-kacangnya..
Menarik.. Ta..tak jarang orang dapat melakukan penulisan apalagi mengungkapkan suatu kejadian kedalam bentuk tulisan..sukses.selalu
BalasHapussalam sobat
BalasHapuskasihan ya ibu penjual kacang rebus, sudah tua.
masih semangat berusaha demi kehidupan.
aku juga pernah ketemu sama ibu tua yg jual amplop di kantor pos mbak, sungguh bersahaja dan pinter melayani pembeli..salut walau dah tua n mungkin hy tamat sd tapi py etika service dan semangat kerja yg tinggi...
BalasHapusTulisannya bagus Mba. Dan salut kepada si ibu tersebut! Luar biasa sekali kegigihannya dalam mencari rezeki, tanpa harus meminta2. Hebat!!
BalasHapusAmin......
BalasHapusiya sering sedih juga lok liat ibu ibu tua itu.....
hanya bisa berdoa yang terbaik buat mereka dan berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita...
Perjuangan hidup yang perlu di teladani oleh kita2 ya.. nyari rejeki yang halal
BalasHapusCerita yang bagus sob.. lam kenal ya.
BalasHapusSungguh suatu perjuangan hidup yg cukup berat, sudah renta dan hidup sebatang kara,,,aQ jd terharu Sob,,,,
BalasHapuscerita kalo dari pengalaman pribadi itu lebih menggugah ya :D
BalasHapusreally inspiring me mbak Rita..
BalasHapussebenarnya kisah sederhana, sering terjadi dimana-mana... tapi tetap kebersahajaan ibu itulah yang membuat kualitas dirinya berharga mahal...
semoga bisa dicontoh
makanya kita harus bersyukur karena ternyata di sekitar kita begitu banyak oran gyg kurang beruntung
BalasHapusSuatu hari aku jalan bermobil bersama bapakku. Di perempatan ada pengemis menghampiri mobil. Bapakku membuka kaca jendela, lalu kasih pengemis itu seribuan.
BalasHapusPengemis lain datang. Bapakku kasih seribuan juga.
Kemudian datanglah penjual koran, melambaikan koran ke jendela. Katanya, "Korannya, Pak? Seribu aja.." Bapakku melambaikan tangan, menolak, dan menutup jendela.
Aku terhenyak. Aku sebenarnya lebih senang bapakku kasih uangnya ke penjual koran daripada ke pengemis-pengemis itu..
bersyukur selalu jadi alasan yang tepat untuk mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua,
BalasHapussalam
AF
Cerita yang sangat inspiratif mbak.. bahwa banyak yang lebih sulit dari kita tapi tetap semangat menjalani hidup..
BalasHapusSemoga Ibu itu selalu diberi kesehatan dan rezeki yg barokah.. amin..
nah kalo yg kek gini patut dibantu,
BalasHapuskarena aku ga yakin ma pengemis.
banyak pengemis yang menipu.
minta2 uang, eeeh taunya punya motor 2 buah di rumah, punya rumah petak 3, dll.
lebih baik bekerja daripada mengemis.